Lupakanlah Kebaikan

Seperti biasa, saya selalu memikirkan habis-habisan yang semestinya tidak perlu dipikirkan sampai mentok. Entah mengapa saya selalu punya energi untuk hal semacam ini.

Singkat cerita, beberapa hari lalu, saya sering menemui kata 'tulus' di mana-mana. Baik itu secara tulisan maupun lisan. Tetapi ada juga yang terdengar tersirat.

Hingga akhirnya, muncullah pertanyaan-pertanyaan dangkal seperti, apa itu tulus, mengapa orang tersebut percaya diri mengatakan demikian bahwa dia tulus, dan seterusnya berulang-ulang.

Sekalipun membaca KBBI bahkan mencari di internet, hasilnya juga tak kunjung ketemu alias tidak ada yang menembus hati. Bisa jadi, saya yang bebal sewaktu membaca, makanya nggak ada yang memuaskan.

Tapi dari sekian permenungan untuk mencari maksud tulus, akhirnya saya menemukannya dari hasil wawancara dengan seseorang.

Maaf, terkait siapa orangnya, itu tidak bisa saya sebutkan di sini. Nantinya kalian bisa mengetahui jika buku yang saya garap dengan teman-teman lainnya sudah terbit.

Memang, kala itu wawancaranya terbilang singkat, hanya sepuluh menit, tapi ini justru merapikan apa yang sedang berserakan di pikiran saya dalam sejenak.

Saat itu, konteks pembicaraannya adalah pengalaman seseorang yang mau menyisihkan hidupnya untuk menggereja. Di situlah, saya melempar banyak pertanyaan, seputar mengapa mau menyisihkan dan apa harapannya.

Namun, jawaban dari orang itu di luar dugaan. Saya mengira dia bakal reflektif dan mendalam. Ternyata hanya menjawab "tidak tahu" dan "memangnya diriku melakukan itu toh" sambil cengengesan.

Tentu, mendengar kedua jawaban itu membuat saya jengkel dan gemas awalannya. Tapi setelah saya kelar wawancara dan mencoba mendengarkan kembali isi obrolannya, ditambah membayangkan suasana wawancaranya.

Ternyata orang itu memang sedang mengatakan apa adanya, dan melupakan sebagian apa yang mungkin dianggap orang lain sebuah kebaikan tetapi baginya malahan hal biasa.

Kini, saya hanya bisa terbaring di kasur, melihat lampu remang kostan, dan membatin. Hidup di tengah zaman krisis percaya, serba cepat, dan penuh gegap gempita, mengapa kita tidak berjuang menebar benih kebaikan lalu melupakannya begitu saja.

Komentar

Postingan Populer