Tingwe, Sebelum Imsak

Setelah skripsi rampung, saya menduga kebiasaan tidur larut malam akan hilang sebagaimana mestinya. Namun, dugaan itu meleset. 

Kebiasaan tersebut justru masih saya langgengkan. Begitu pula dengan si Renal. Jarak rumah yang dekat membuat kami sering menghabiskan waktu nongkrong bersama sampai tengah malam.

Kali ini bertepatan bulan Ramadhan, hari kedua puasa, saya dan Renal memutuskan untuk sahur bersama dengan Indomie. Tentu masing-masing dari kami memesan porsi dobel dan tandas begitu saja.

Memang, perkara makan Indomie kami tidak pernah bisa mengkontrol dengan bijak. Ya sudahlah. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

"Bajingan, iki kenopo explore IG-ku akeh wong mangan Indomie yo. Piye, pas sahur mangan mie?" Ajak saya, dua jam sebelum sahur.

"Yowes gas," jawab Renal tanpa pertimbangan.

Setelah merencanakan itu semuannya. Ujungnya-ujungnya, kami sahur dengan waktu mepet. Semua ini gara-gara kami asyik menonton YouTube.

"Halah paling burjo e sepi, Bos. Cah kost mesti golek burjo sing cedak kampus UIN." Kata saya dalam perjalanan.

"He'e, ya. Palingan sepi. Soale burjo iki kan mayan adoh seka kampus," sambung Renal.

Lagi-lagi dugaan saya meleset. Ternyata burjo itu dipenuhi banyak mahasiswa. Lantas, kami tetap memilih burjo tersebut daripada harus mencari tempat lain yang belum tentu buka.

Kala itu burjo dipenuhi mahasiswa yang hobi teriak dan misuh. Tidak betah rasanya. Akhirnya, kami segera mungkin menghabiskan makanan. Setelah itu, kami muter-muter sepanjang jalanan Ngaliyan untuk mencari rokok ketengan.

Tiap angkringan sudah kami hampiri. Walhasil, tidak ada satu pun yang menjual rokok ketengan. Lantaran, kata penjualnya, sudah habis dibeli oleh pelanggan lainnya.

Singkat cerita, akhirnya kami menemukan satu toko tembakau yang buka. "Wes tuku ning kono wae. Tak tuku Gayo ijo wae." Kata Renal pakai nada kemrungsu.

"Iyo. Mung, kowe sing tuku yo. Aku ijek ana mbako ning omah." Jawab saya.

Sesampai di toko, kami ditawari untuk mencicip jenis tembaku lainnya. "Mas, monggo, dijajal ndhisik Gayo kuning e. Enak, rasane alus. Mung nek aroma jek enakan Gayo ijo," tawar penjual mbako, sambil membungkuskan pesanan Renal.

"Boleh-boleh, Mas. Linting sek, jajal sek." Sahut Renal, dan mengajak saya untuk ikut mencobanya.

Dengan wajah nyantai dan nafsu. Kami sampai lupa melihat jam. Beruntungnya, toko tersebut berdekatan Masjid.

"Laahhh, wes Imsak? Aku lagi nyedot sithik padahal," sambat Renal dengan wajah yang tidak ikhlas dan mau tidak mau, ia musti mematikan tingwenya.

Lihat ekspresi Renal, saya spontan meledekinya, "Haha... Nasib...".

"Kok, kowe jek ngerokok?" Tanyanya pakai nada iseng.

"Lha, aku kan," jawab saya sambil tanda salib di depannya.

"Lho, enak ik," sambungnya.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Renal, saya menyimpulkan kalau tingwe bukan solusi tepat untuk perokok yang lagi terburu-buru. Tapi kalau pengin hemat dan terlihat nyeni. Mungkin tingwe adalah jawabannya.


Komentar

Postingan Populer