Tengak-tenguk di Kampus
Hampir dua atau tiga kali melihat mantan psikolog PSIS duduk sendiri di dekat koperasi kampus sambil meminum kopinya sembari menghisap rokok di tangan kanannya. Ya, beliau adalah Rektor kampus, Pak Ferdinand.
Kadang niat hati ingin sesekali gabung satu meja dengan Beliau. Tapi hati kecil ini sering mengumpat, "ra sah sok asik, nom-noman taek anteng wae."
Kalaupun jadi satu meja dengan Beliau, bingung juga mau improvisasi pembicaraan seperti apa nantinya. Tapi kurang-lebihnya, sebetulnya saya kepo saja dengan program SLM (Soegijapranata Learning Model) yang katanya akan segera terealisasikan di kampus.
Ringkasnya, program ini adalah yang di mana dalam proses pembelajaran mahasiswa akan lebih berperan aktif di kelas. Jadi dosen hanya mendapati kesempatan menyampaikan materinya sekisar 40% dan sisanya mahasiswa.
Sementara itu, Pak Rektor saat jumpa pers, Kamis (4/8), pernah berpendapat kalau program ini akan menciptakan suasana pembelajaran yang sukacita, joyful, dan gayeng.
Dadi masio mahasiswa karo dosen lagi mumet merga ora nde det, pokoke kudu tetep joyful. Nek jarene Evan Loss, "mbok yo sing full senyum sayang."
"Anak-anak muda ini, harus belajar berinteraksi secara sehat mengungkapkan ide dan gagasan secara langsung, berbeda pendapat, berargumen, adu gagasan, berkolaborasi, beradaptasi, berkonflik dan menyelasaikannya, dan belajar bertoleransi dengan berbagai macam perbedaan,” pernyataannya ketika sambutan upacara Dies Natalis Unika ke-40, Sabtu (6/8).
Namun, bayangan saya program SLM ini nantinya justru dapat membuat keadaan "yang jauh mendekat, yang dekat merapat".
Jikalau melihat dari sisi kultural, mahasiswa itu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda begitu juga dengan dosen, baik ras maupun agama. Selain itu, konon katanya mahasiswa itu terbagi menjadi dua kelompok: mahasiswa kura-kura (kuliah, rapat, on repeat) dan mahasiswa kupu-kupu (kuliah, pulang rumah/kerja, on repeat).
Entah, saya bingung juga kalau ditanya masuk kelompok yang mana. Kalau boleh menambahkan satu kelompok, mungkin namanya: mahasiswa udad-udud alias hobi jagongan utawa tengak-tenguk ora ngerti sing dikarepke opo. Lah kalau begitu, saya tak siap jadi member kelompok yang satu ini. Ada yang mau menginisiasinya?
Nah, membahas bayangan yang tadi sudah saya utarakan. Karena saya percaya bahwa adanya beragam latar belakang, ditambah adanya kelompok mahasiswa yang terbagi-bagi ini, sangat memungkinkan sekali untuk menunjang program tersebut.
Sebab dari setiap mahasiswa yang secara sadar atau tidak sadar tergabung dalam kelompok ini, pasti mempunyai perangkat berpikir yang berbeda-beda sehingga dapat memperkaya sudut pandang ketika berdinamika di kelas. Bila disimpulkan, jadi nanti antar mahasiswa ini akan saling bersinggungan terus menerus.
Katakanlah kelas nantinya seperti acara talkshow. Mahasiswa jadi narasumber, dan dosen adalah moderator. Maka dalam perkembangan modern ini, paradigma pendidikan yang mengcakup pembelajaran di ruang kelas, tidak lagi terpusat pada pendidik (dosen) tetapi kepada mahasiswa. Ini sama halnya dengan konsep demokrasi dalam pembelajaran yakni pembelajaran dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa.
Berangkat dari bayangan itu, sangat dipertanyakan keberadaan dosen yang otoritarianisme ini apakah mampu mengimbangi proses programnya?
Kalau boleh jujur, dosen yang otoriter ini sebetulnya cukup menyebalkan dan menakutkan karena membuat mahasiswa tidak bisa berpikir bebas karena harus manut dengan pemikirannya. Lalu, terkadang sebelum memulai pembelajaran mahasiswa harus melihat raut wajahnya terlebih dahulu dan menduga kira-kira dosen ini sedang mood atau tidak. Satu perihal lagi, terkadang mahasiswa yang sedang bertanya berujung naas karena tidak dapat jawaban yang diharapkan, tetapi malah mendapati jawaban yang tidak mengenakkan ati. Alhasil: mahasiswa ini justru jadi takut bertanya untuk selanjutnya.
Malu bertanya, tersesat di jalan. Sudah bertanya, malah kena amukan.
Akan tetapi, hal ini sebenarnya cukup gambling. Di satu sisi, terkadang dosen yang otoriter ini juga dibutuhkan guna melatih mental, serta dapat menuntun atau bahkan menggembleng bagi mahasiswa yang hobinya tengak-tenguk seperti saya agar menjadi orang yang sat-set dan tidak fafifu wasweswos.
Tahu tempe adalah makanan enak untuk hidup yang sehat, tahu diri adalah cara sehat untuk hidup yang enak.
Maka dengan adanya rencana program SLM, sekiranya mahasiswa kura-kura dan kupu-kupu ini dapat bersinergi atau berkolaborasi. Dalam arti, antar mahasiswa ini mempunyai wadah lebih untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman (baik teori dan praktik di luar kampus), serta melahirkan keahlian-keahlian baru, dan akan terus menciptakan inovasi guna memajukan kampus.
Namun, dalam program ini tampaknya dosen yang berperan penting. Oleh karena itu, para dosen kini secara perlahan harus mulai terbuka pemikirannya, responsif, dan mampu adaptif dengan keadaan realitas yang ada. Sebab setiap generasi mahasiswa itu mempunyai cara berpikir, budaya, dan ketrampilan yang berbeda-beda. Maka dari itu cara pendekatannya tidak bisa dipukul sama rata.
Ya sudahlah. Lagipula ini, kan, hanya bayangan saya saja pas lagi tengak-tenguk di kampus. Yowes tak lanjut ngopi dhisik, mengka ndak selak adem kopine.
Komentar
Posting Komentar