Kertas Nasi Bungkus
Sepulang ibadah, terkadang, ini perut njembling bisa tiba-tiba mengajak makan di mana saja. Meskipun
di mana saja, yang terpenting lolos uji kompentesi pribadi terlebih dahulu: ana
rega, ana rasa.
Maklum. Belum
sarjana dan tak pandai bermain slot alias judi online. Boro-boro berjudi, Mengeluarkan
duit untuk deposit saja tidak mampu. Alhasil, punya duit cuma pas-pasan. Jadi
kalau nyari duit, ya, yang pasti-pasti sajalah. Kalaupun punya duit lebih baik
buat ngopi dan beli rokok.
"Sudah
bagus-bagus rejekimu diatur sama Tuhan, eh, kamu malah minta diatur sama
bandar." begitu tulisan yang tertempel pada kaos tetangga saya.
Kebetulan waktu
itu perut lagi ngidam makan nasi bungkus, sate jeroan, dan beberapa gorengan
yang nantinya bisa diminta untuk dibakarkan. Ah, mantap.
Entah, terkadang
lidah bisa menyatakan kalau angkringan yang keadaannya remang-remang dan kegiatan memasaknya lebih memilih menggunakan arang daripada kompor. Patut dinobatkan:
angkringan well. Kalau kata teman-teman saya angkringan begini biasanya, khas Solo.
Akhirnya saya mencoba menyomot beberapa makanan andalan: ada sate ati bakar, sate kulit bakar, mendoan bakar, dan nasi bungkus ikan pindang. Kenyangnya bukan main, murah pula. Setelah kelar pondasi, niat hati segera pulang rumah, tapi sialnya Dewa Zeus mengtakdirkan badan ini untuk berteduh sebentar.
Bajingan, kalah cepat dengan Zeus. Tapi beruntungnya tempat yang merakyat ini cukup luas, jadi sekiranya tidak ada istilah tempias di sini. Mari melanjut nyemil.
Sembari menunggu hujan reda, saya mencoba memesan satu gelas kopi, dan mengeluarkan buku Corat-Coret di Toilet karya Eka Kurniawan. Coba saja bayangkan: hujan, buku, kopi, rokok, dan kau dihadapkan langsung dengan gorengan beserta kawan-kawanya. Niscaya kau akan lupa berapa gorengan yang sudah kau santap. Oh tentu, beruntungnya hari itu saya ingat semua.
“Sampeyan
agamane, opo?” Tanya pembeli sebelah.
Tiba-tiba,
pertanyaan yang nyeleneh itu membuat kepala jadi ingin menoleh. Sebenarnya
mengganggu, karena lagi membaca pada bagian paragraf seru-serunya. Tapi, apa boleh
buat, sepertinya pertanyaan Bapak sebelah ini tak kalah seru juga.
“Islam, nopo Pak? Saut penjual angkringan.
“Lha iki, Al
Quran kok mbo dadike nggo bungkus sega,” lemparan pertanyaan dari pembeli, sambil
menunjukan nasi bungkus yang sudah ia buka.
“Al Quran seka
ndi? Iki seka buku pelajaran cah cilik,” jawabnya penjual nasi bungkus, dengan
nada bicara yang ngotot. Dan ia mencoba merebut kertas bungkus yang ada di
tangan pembeli itu.
“Ngene iki,
sopan opo ora? Sampeyan kan agamane Islam, mosok yo ora reti?” Rupanya pembeli
ini juga tak mau kalah ngotot.
Nampaknya,
lama-kelamaan, perdebatan perkara kertas nasi bungkus itu menjadi semakin sengit. Maaf, Mas Eka, hari itu bukumu kalah
seru dengan perdebatan bapak-bapak di angkringan remang-remang.
“Lho sampeyan
kih, piye tho, iki tulisan huruf Arab, nek sampeyan ngomong Al Quran iki jelas
salah,” jawab penjual itu, sambil menunjukan huruf-huruf Arab dan sempat-sempatnya
ia juga membacakan arti huruf-huruf itu dengan bernada.
“Sek, sek, bukane
piye-piye, opo meneh sok paling suci, tapi nek sampeyan Islam kudune reti,” sahut pembeli.
Lalu bapak pembeli
ini mulai mengeluarkan gadget disakunya, dan memfoto beberapa kertas nasi
bungkus yang bertuliskan huruf Arab. Dugaan saya, pasti Bapak ini menggosip sama bapak-bapak lainnya di grup WhatsApp. "Heh, ora usah tuku sega bungkus ning kene, ngawur tenan iki bakul'e, Lurrr..." Misalnya. Ini hanya gambaran imajinasi saya saja kalau bapak-bapak lagi menggosip.
“Yowes ngene,
sampeyan arep ora tuku yo orapopo,” jelas penjual ini, dengan wajah yang sudah
mulai kesal.
“Jane aku arep
tuku akeh, mung bungkusane ngene dadi wegah. Tak bayare sing iki-iki wae,
liyane ora sek!” sambil menunjuk nasi bungkus yang sudah dipilihi.
Sebenarnya saya
punya niatan menengahi kedua orang tua itu, tapi saya merasa tidak enak saja,
malah bisa-bisa dianggap bocah yang sok-sokan. Serba salah memang jadi Gen-Z.
Tapi ya sudahlah. Kalaupun jadi menengahi, terus ditanya, “agama kamu apa?” Bisa-bisa tambah panjang lagi ceritanya. Ya, beginilah suka duka jadi bocah Gen-Z tak lakoni.
“Yowes, sing
arep tuku yo akeh, ora gur bapak kuwi tok,” sambat penjual, setelah bapak agamis
itu membayar beberapa nasinya dan pergi.
Komentar
Posting Komentar